JAKARTA – Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg), karena pengadilan yang memutuskan pencabutan hak politik koruptor yang telah divonis bersalah.

“Karena dipilih dan memilih adalah hak asasi manusia. Tidak adil rasanya jika korupsi yang Rp80 juta lalu dihabisi karir politiknya. Biar lah pengadilan saja yang melarang dan membatasi ruang gerak napi koruptor,” jelasnya.

Sementara itu, pendiri Madrasah Antikorupsi, Dahnil Anzar Simanjuntak mendukung penuh PKPU Pelarangan mantan napi koruptor, karena PKPU ini adalah upaya mencegah residivis korupsi kambuh. Apalagi korupsi di Indonesia itu laku laten. Bak residivis, ia habitual crime. Oleh karenanya mantan koruptor yang kembali ke politik maka berpotensi melakukan laku koruptif kembali.

Sama halnya, upaya deradikalisasi terhadap mantan teroris, maka diupayakan agar si mantan teroris agar tidak bergabung lagi dengan lingkungan yang penuh “tarikan” ideologi yang memungkinkan dia kambuh kembali, maka harus dipastikan dia hidup dilingkungan yang memastikan mampu memoderasi ideologinya.

“Jadi, PKPU yg melarang koruptor menjadi Caleg adalah langkah preventif yang berkemajuan untuk melindungi rakyat secara keseluruhan, sekaligus sejatinya membantu mantan napi koruptor agar menjauh dari habitual crime, yang memungkinkan mereka mengulangi tindakan korupsi sehingga mereka bisa hidup bersih dan berkah,” jelasnya.

Pengamat Kebijakan Publik Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie mengatakan, ada ketakutan bagi DPR yang menentang wacana KPU melarang mantan napi korupsi menjadi caleg. Karena dengan larangan KPU akan membuat ada mantan DPR yang tak bisa mencalonkan diri sebagai caleg. Namun harusnya larangan KPU juga berlaku bagi calon bupati/walikota atau gubernur yang juga mantan napi korupsi.

“Tapi KPU juga harus menerapkan aturan itu bagi calon kepala daerah seperti gubernur sampai bupati/wakil. Karena tak adil juga jika hanya satu arah saja,” ujar Jerry, Selasa (29/5/2018).

Jerry menilai, langkah KPU yang melarang mantan napi korupsi menjadi calon caleg sangat positif guna mewujudkan clean and good goverement and parlemen. Harusnya jika ingin DPR bersih maka aturan ini harus diikuti. Pasalnya aturan KPU tersebut untuk kebaikan bersama. Apalagi jika mengikuti aturan di Amerika dan Eropa maka yang duduk di DPR adalah mereka yang tidak terlibat korupsi.

“Impact atau dampak buruk jika aturan KPU tersebut ditolak maka kredibilitas DPR akan dipertanyakan. Takutnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR semakin merosot,” paparnya.

Pengamat politik dari Lembaga Kajian dan Analisa Sosial (LeKAS) Karnali Faisal mengatakan, mantan napi masih memiliki hak dan kewajiban seperti halnya warga negara yang lain. Termasuk hak-hak politik baik memilih maupun dipilih dalam pemilihan umum. Oleh karena itu perlu dipertanyakan landasan hukum apakah yang digunakan KPU melarang mantan napi menjadi calon anggota legislatif.

“Jika tidak memiliki landasan hukum, maka KPU bisa dianggap melanggar hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara,” tegasnya.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz juga mempertanyakan sikap sejumlah partai yang menolak rencana larangan mantan narapidana korupsi tak boleh ikut pemilu anggota legislatif (pileg) 2019. Menurutnya, patut dicurigai parpol yang tak mendukung larangan tersebut merupakan partai yang kadernya banyak tersangkut korupsi.

“Ada sebagian partai politik yang tidak setuju dengan gagasan agar pembatasan calon legislatif. Saya mencurigai partai-partai yang tidak setuju dengan gagasan ini adalah partai-partai yang kadernya banyak terlibat kasus korupsi dan akan mengusung mereka kembali dalam pileg 2019. Itu pandangan saya,” ujar Donal dalam sebuah diskusi di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (13/4/2018).

Sebelumnya, KPU RI akan mengatur larangan mengenai mantan narapidana kasus korupsi untuk ikut dalam pemilu legislatif (pileg) 2019. Komisioner KPU RI, Hasyim Asyari mengatakan, pelarangan itu akan dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Pileg mendatang untuk pertama kalinya.

Sebenarnya di Undang-undang tidak ada, mantan narapidana kasus korupsi dilarang nyaleg, di PKPU pencalonan mau kita masukkan,” kata Hasyim di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (29/3/2018).

Menurut Hasyim, mantan narapidana kasus korupsi tidak layak menduduk jabatan publik. Alasannya, karena telah berkhianat terhadap jabatan sebelumnya. Namun, beberapa partai politik menolak wacana tersebut yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) bersama dengan Partai Bulan Bintang (PBB), Perindo, dan Partai Demokrat. Alasannya, mantan narapidana korupsi yang telah menjalani masa hukumannya tak boleh dihukum kembali dengan dilarang ikut pileg. Selain itu, pelarangan mantan koruptor mengikuti pileg tidak menjamin berhentinya kasus korupsi. (Glen/Red)