JAKARTA, INDONESIA PARLEMEN – Badan Otonom Bidang Pelajar, Putri Nahdlatul Ulama biasa disebut dengan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama atau IPPNU Jakarta menyelenggarakan Webinar ‘Peredaran Minuman Keras Oplosan di Kalangan Pelajar’ yang diselenggarakan di Tengah Kota Coffee and Resto, Jumat, 17 September 2021.
Acara diikuti oleh beberapa orang unsur tokoh masyarakat, aktivis, para stakeholder, serta sebagian besar anggota organisasi Banom NU Provinsi DKI Jakarta. Dalam diskusi, berkembang penjelasan bahwa sejatinya minuman oplosan bukanlah minuman beralkohol.
Diadakan secara hybrid, acara ini dibuka dengan sambutan oleh Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta, KH. Husni Mubarok Amir, dalam sambutannya KH. Husni mengatakan, minuman keras oplosan tidak layak disebut sebagai minuman.
“Karena didalamnya terdapat racun,” jelas KH Husni.
Dalam penyampaiannya, Ketua IPPNU DKI Jakarta, Halimatusadiyah menganggap IPPNU sebagai organisasi masyarakat kalangan pelajar menilai jika hal ini cukup krusial untuk dibahas, terlebih usia remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa.
“Pada fase ini remaja kerap memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan sering menimbulkan perilaku yang tidak terkontrol dan kenakalan. Perilaku tidak terkontrol dan kenakalan remaja meliputi sikap kurang wajar, amoral, kriminalitas, meminum minuman keras, tawuran, pergaulan bebas bahkan penyalahgunaan obat-obatan terlarang,” paparnya.
Sulitnya mendapatkan minuman keras ataupun minuman beralkohol yang legal, membuat pelajar memutar otak agar bisa mendapatkan efek yang sama tetapi dengan mudah dan murah, akhirnya miras oplosan menjadi solusi, padahal miras oplosan sangat berbahaya bagi Kesehatan.
‘Dengan kondisi demikian, perlu kerjasama banyak pihak, antara stakeholder, organisasi kemasyarakatan juga masyarakat, agar kasus-kasus miras oplosan di kalangan pelajar tidak semakin banyak,” sambungnya.
Dilanjutkan dia, bangsa ini tentunya dapat belajar dari pelarangan minuman beralkohol di Amerika Serikat tahun 1920-1933 yang justru malah menciptakan peredaran oplosan dan pasar gelap secara besar-besaran.
“Inilah kemudian yang menyebabkan maraknya produksi illegal. Pemerintah wajib mengendalikan peredaran minuman beralkohol illegal jenis ini agar masyarakat terutama para pelajar sulit mendapatkannya dan terhindar dari mengonsumsinya,” tegas Halimatusadiyah.
Akademisi Ma’had Aly Al-Aqidah Al-Hasyimmiyah, Nanda Khoeriyah mengatakan, jika pemuda mengkonsumsi minol karena mencari eksistensi, ingin dilihat oleh lingkungan, dan ingin mencoba sesuatu yag baru, dan sebagai pelarian bersama teman-temannya.
“Miras adalah eksistensi. Miras merupakan bagian budaya indonesia sehingga itu tidak bisa dilarang total, pengaruh demi eksistensi, dan pengaruh serta hasrat untuk selalu diakui. Karena bagian dari budaya, kita jangan mudah menghakimi orang lain. Dan orang yg yang mengkonsusmi itu pasti buruk. Tidak, memang ada di budaya kita itu bagian dari budaya kita,” katanya.
Di sisi lain, Antropolog Universitas Indonesia /Asosiasi antropologi Indonesia Raymond Michael Menot menjelaskan tentang adat atau budaya kita yang menjadikan minuman sebagai bagian dari budaya kita.
“Kita punya 500 etnis suku, 160 ribu pulau, 6 agama besar. Dan setiap etnis itu punya minuman khas daerah masing-masing. Di manado, Minahasa, NTT, Papua dan lainnya. Secara adat, minol itu sudah dipraktekkan ribuan tahun lalu, bukan kebiasaan karena kebiasaan bisa diganti tapi budaya tidak karena menyangkut harga diri dan psikologis,” jelasnya.
“Minol masih ada sampai sekarang, bukan untuk mabuk-mabukan. Di samping itu, aturan kita melarang anak usia 16 tahun mengkonsumsi minol. Dalam adat juga tidak boleh minum, ada aturan dan ukurannya. Secara adat, minol itu lebih berfungsi sebagai penghangat, acara ritual dan perjamuan khusus,” sambungnya.
Materi terakhir oleh Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta, KH. Lutfi Hakim, menurutnya, miras oplosan terbuat dari bahan-bahan yang tidak seharusnya dikonsumsi. Pemerintah sudah seharusnya dengan segera menindaklanjuti payung hukum yang mengaturnya.
“Dalam RUU ini ada tiga hal, filosofis isinya membahas apakah semua daerah ataupun agama menganggap hal ini dilarang, karena sebagian daerah ataupun agama menganggap minol sebagai pelengkap upacara keagamaan ataupun kebudayaan, secara sosiologis juga demikian, yuridis berisi perlu adanya payung hukum, harus ada payung hukum berupa pengendalian, bukan larangan, karena akan jadi diskriminasi, dan pengendalian harus dibarengi dengan pengawasan,” paparnya.
Sementara, K.H. Lukman hakim mengkritisi RUU minol yang belum menyentuh minol oplosan. Beliau menjelaskan dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis, beliau mengatakan.
“Pemerintah sudah punya regulasi untuk mengatur miras tapi oplosan ini belum ada pengaturannya. Kita berfikir positif, bahwa dalam melaksanakan kebijakannya pemerintah berdasarkan kemaslahatan masyarakatnya. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh, tasharroful imam alar ro”iyah manuthun bil maslahah,” tandasnya.
(Glen/Hmb)
Tinggalkan Balasan