MALANG – Untuk kedua kalinya komunitas warga NTT “Flobamora” yang ada di Malang Raya menggelar nonton bareng debat politik Pilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Hal ini dilakukan untuk memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat NTT, walaupun dalam hidup jauh dari kampung halaman guna mencari ilmu pengetahuan di perguruan tinggi di malang.

Pengamat politik sebagai nara sumber acara nobar flobamora, Prof. Dr. Aloysius R. Entah, SH. menilai, acara debat calon Gubernur-Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) kedua yang digelar pada Selasa, (8/5/2018) malam di Jakarta adalah bersifat normatif.

“Pada acara debat kedua ini juga normatif dan sepertinya semua calon mengemukakan format berpikir yang sangat ideal. Tidak ada satupun yang menggunakan data,” kata Aloysius R. Entah sebagai narasumber Nobar Flobamora, malang selasa (8/5/2018).

Dia mengemukakan hal itu, terkait debat kedua yang disiarkan secara langsung stasiun televisi iNews pada, Selasa (8/5/2018) malam.

Debat calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 kedua itu bertemakan “Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi”.

“Generalnya adalah debat kedua Cagub NTT miskin debat dengan data atau tidak berbasiskan data, padahal data-data soal masalah birokrasi di NTT, juga soal korupsi sangat banyak,” katanya.

Artinya, baik soal birokrasi maupun soal korupsi yang menjadi tema debat kedua, semuanya bicara sangat ideal, katanya. Seharusnya data-data tentang penempatan jabatan dilingkungan pemerintahan dan korupsi di NTT disajikan lalu digunakan untuk berdebat.

“Panelis sudah sedikit memancing dalam pertanyaan tetapi hal ini gagal dimaksimalkan oleh semua paslon. Mereka tidak berani bicara berbasiskan data dan hanya menyampaikan hal-hal ideal tentang birokrasi dan juga mimpi-mimpi mereka untuk gerakan anti korupsi di NTT,” ungkapnya.

Karena itu, debat kedua akhirnya seperti kehilangan aura. Sangat datar dan monoton.

“Ada beberapa sesi di mana para paslon saling memuji juga baik tetapi harusnya memuji dengan mendebat kualitas jawaban lawan. Itu tidak terlihat,” ujarnya, seperti yang dikutip dari Antara.

Padahal memuji sesuatu yang tidak pantas dipuji adalah sebuah ramah-tamah yang tidak perlu.

“Debat itu acara di ruang publik atau dalam bahasa filosofis adalah sebuah hajatan di polis. Bukan di rumah atau oikos,” katanya.

Memindahkan kebiasaan dan aturan main di ruang privat dan komunal yaitu oikos ke ruang debat politik yang sudah jelas berada di ruang publik atau polis, justru menghilangkan substansi debat.

Masyarakat kelas menengah dan para pemilih milenial di NTT akhirnya bisa melihat bahwa ternyata debat Pilgub NTT beda kelas dengan debat Pilgub Jawa Barat, Jateng dn Jatim. Ini patut disayangkan karena mengeluarkan biaya yang tidak kecil dari APBD NTT, demikian terang Aloysius R. Entah. (John)